Setelah terjadi peristiwa Gerakan 30 September/PKI dan Kolonel Untung mengumumkan pembentukan Dewan Revolusioner Indonesia, permasalahan menjadi sedikit terang.
Reaksi pun muncul dari berbagai kalangan. Menko Hankam/Kasab Jenderal A.H. Nasution yang saat itu di tempat persembunyian, mengirim pesan melalui penghubung kepada Panglima KOSTRAD.
Pesan itu antara lain berisi agar melokalisir pasukan lawan, menutup Kota Jakarta, minta bantuan pasukan dari KODAM VI/Siliwangi, menggunakan RRI Bandung untuk membantah adanya Dewan Jenderal, memastikan keadaan presiden, serta segera menghubungi panglima Angkatan Laut, panglima angkatan kepolisian dan panglima KKO.
Pelan-pelan markas KOSTRAD pun menjadi pusat gerakan untuk melumpuhkan Gerakan 30 September/PKI.
Upaya pembebasan dari Gerakan 30 September/PKI melibatkan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo dan Batalion 328/Para Kujang/Siliwangi.
Untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang bakal terjadi setelah Kolonel Untung mengumumkan komposisi personalia Dewan Revolusi Indonesia, Menko Hankam/Kasab Jenderal A.H. Nasution mengeluarkan instruksi.
Instruksi itu dimaksudkan untuk melancarkan tindakan yang cepat, tegas, menyeluruh dengan melibatkan kerja sama antarangkatan.
Pada tanggal 3 Oktober 1965 lokasi jenazah para jenderal AD telah ditemukan. Namun, karena sudah malam dan kendala teknis (keadaan sumur yaitu dengan kedalaman 12 m dan garis tengah kurang dari 1 m), pengangkatan jenazah ditunda hingga keesokan harinya.
Malam itu juga, para jenderal senior AD membuat petisi kepada presiden. Isinya antara lain supaya fitnah terhadap Angkatan Darat (bahwa Dewan Jenderal akan mengadakan kudeta) diperiksa.
Apabila fitnah itu benar, para jenderal senior AD siap diadili. Apabila fitnah itu tidak benar, pemfitnah itu juga harus dihukum.
Bertepatan dengan hari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tanggal 5 Oktober 1965, jenazah para jenderal Angkatan Darat itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Keberangkatan jenazah dari Aula Departemen Angkatan Darat dilepas dengan pidato Menko Hankam/Kasab Jenderal A.H. Nasution.
Demikianlah, prahara politik yang meminta korban para perwira tinggi Angkatan Darat itu sempat menggoyahkan persatuan bangsa. Presiden Ir. Soekarno sendiri shock setelah mengetahui jenderal-jenderal Angkatan Darat itu tewas terbunuh dalam Gerakan 30 September/PKI.
Dualisme kepemimpinan dan tidak adanya penyelesaian tegas dari presiden terhadap Gerakan 30 September/PKI, memicu reaksi rakyat.
Dalam sidang Kabinet Dwikora di Istana Bogor tanggal 6 Oktober 1965, Presiden Ir. Soekarno mengatakan bahwa peristiwa Gerakan 30 September/ PKI itu adalah sebuah riak dalam samudra revolusi.
Mengenai penyelesaiannya, presiden menawarkan tiga opsi yaitu aspek politik Gerakan 30 September/ PKI akan diselesaikan sendiri oleh presiden, aspek militer administratif diserahkan kepada Mayjen Pranoto, dan aspek militer teknis (keamanan dan ketertiban) diserahkan kepada Mayjen Soeharto.
Namun, realitas yang terjadi di masyarakat menjadi tidak terkontrol dan cenderung anarkis. PKI menjadi sasaran kemarahan rakyat. Kantor Pusat PKI di Jalan Kramat Raya, Jakarta dibakar, begitu pula rumah tokoh-tokoh PKI.
Konflik fisik pun pecah antara massa yang pro dan anti-PKI. Peristiwa ini tidak saja terjadi di Jakarta, tetapi juga di daerah-daerah.
Orang-orang menyebut saat itu tengah terjadi perang saudara dan jutaan nyawa melayang menjadi korban. Berturut-turut tokoh-tokoh PKI ditangkap seperti Kolonel Abdul Latief (di Jakarta tanggal 9 Oktober 1965) dan Kolonel Untung (di Tegal 11 Oktober 1965).
Pelan-pelan ia memegang kendali pemulihan keamanan dan ketertiban. Tanggal 16 Oktober 1965 Panglima Komando Daerah Militer V/Jaya Mayjen Umar Wirahadikusumah (selaku Penguasa Pelaksana Perang Daerah/Pepelrada) membekukan untuk sementara semua kegiatan PKI dan ketujuh ormasormasnya.
Ormas-ormas PKI antara lain Pemuda Rakyat (PR), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Barisan Tani Indonesia (BTI), Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (Perhimi), Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), Himpunan Sarjana Indonesia (HSI), Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).
Tindakan Pepelrada Jakarta ini diikuti oleh Pepelrada Jawa Timur (22 Oktober 1965), Pepelrada Jawa Tengah-DIY tanggal 26 Oktober 1965 menyatakan keadaan perang.
Sementara itu, mulai tanggal 20 Oktober 1965 mulai dilakukan penertiban/personalia sipil dan militer dari unsur-unsur yang terlibat Gerakan 30 September/PKI. Di masyarakat pun mulai berdiri kelompok-kelompok aksi yang menuntut pembubaran PKI dan ormas-ormasnya.
Misalnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), dan Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI).
Pada tanggal 26 Oktober 1965 mereka mengadakan rapat akbar di Lapangan Banteng untuk menuntut pembubaran PKI.
Janji Presiden Ir. Soekarno untuk menyelesaikan secara politik peristiwa Gerakan 30 September/PKI tidak kunjung direalisasikan. Konflik sosial politik di masyarakat dan seringnya terjadi tindakan main hakim sendiri, semakin memperuncing keadaan.
Mereka menuntut:
Tuntutan mereka kemudian dikenal dengan Tritura.
Upaya presiden untuk memperbaiki keadaan dengan mengadakan reshufle Kabinet Dwikora tanggal 24 Februari 1966, justru menyulut demonstrasi besar-besaran.
Oleh karena dalam kabinet yang dijuluki ”Kabinet 100 Menteri” ini masih bercokol tokoh-tokoh yang dicurigai terlibat dalam Gerakan 30 September/PKI. Dalam sebuah demonstrasi, Arief Rachman Hakim (Mahasiswa Universitas Indonesia) tewas tertembak.
Surat inilah yang dikenal Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), yang menjadi penanda lahirnya Orde Baru.
Catatan: Kebenaran sejarah ini belum valid, tunggu update selanjutnya!
Reaksi pun muncul dari berbagai kalangan. Menko Hankam/Kasab Jenderal A.H. Nasution yang saat itu di tempat persembunyian, mengirim pesan melalui penghubung kepada Panglima KOSTRAD.
Pesan itu antara lain berisi agar melokalisir pasukan lawan, menutup Kota Jakarta, minta bantuan pasukan dari KODAM VI/Siliwangi, menggunakan RRI Bandung untuk membantah adanya Dewan Jenderal, memastikan keadaan presiden, serta segera menghubungi panglima Angkatan Laut, panglima angkatan kepolisian dan panglima KKO.
Pelan-pelan markas KOSTRAD pun menjadi pusat gerakan untuk melumpuhkan Gerakan 30 September/PKI.
Upaya pembebasan dari Gerakan 30 September/PKI melibatkan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo dan Batalion 328/Para Kujang/Siliwangi.
Untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang bakal terjadi setelah Kolonel Untung mengumumkan komposisi personalia Dewan Revolusi Indonesia, Menko Hankam/Kasab Jenderal A.H. Nasution mengeluarkan instruksi.
Instruksi itu dimaksudkan untuk melancarkan tindakan yang cepat, tegas, menyeluruh dengan melibatkan kerja sama antarangkatan.
Pada tanggal 3 Oktober 1965 lokasi jenazah para jenderal AD telah ditemukan. Namun, karena sudah malam dan kendala teknis (keadaan sumur yaitu dengan kedalaman 12 m dan garis tengah kurang dari 1 m), pengangkatan jenazah ditunda hingga keesokan harinya.
Malam itu juga, para jenderal senior AD membuat petisi kepada presiden. Isinya antara lain supaya fitnah terhadap Angkatan Darat (bahwa Dewan Jenderal akan mengadakan kudeta) diperiksa.
Apabila fitnah itu benar, para jenderal senior AD siap diadili. Apabila fitnah itu tidak benar, pemfitnah itu juga harus dihukum.
Bertepatan dengan hari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tanggal 5 Oktober 1965, jenazah para jenderal Angkatan Darat itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Keberangkatan jenazah dari Aula Departemen Angkatan Darat dilepas dengan pidato Menko Hankam/Kasab Jenderal A.H. Nasution.
Demikianlah, prahara politik yang meminta korban para perwira tinggi Angkatan Darat itu sempat menggoyahkan persatuan bangsa. Presiden Ir. Soekarno sendiri shock setelah mengetahui jenderal-jenderal Angkatan Darat itu tewas terbunuh dalam Gerakan 30 September/PKI.
Tiga Tuntutan Rakyat |
Dualisme Kepemimpinan Angkatan Darat
Sementara itu, di dalam tubuh Angkatan Darat terjadi dualisme kepemimpinan karena Mayor Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai panglima operasi pemulihan keamanan. Mayor Jenderal Pranoto diangkat sebagai caretaker pimpinan Angkatan Darat.Dualisme kepemimpinan dan tidak adanya penyelesaian tegas dari presiden terhadap Gerakan 30 September/PKI, memicu reaksi rakyat.
Dalam sidang Kabinet Dwikora di Istana Bogor tanggal 6 Oktober 1965, Presiden Ir. Soekarno mengatakan bahwa peristiwa Gerakan 30 September/ PKI itu adalah sebuah riak dalam samudra revolusi.
Mengenai penyelesaiannya, presiden menawarkan tiga opsi yaitu aspek politik Gerakan 30 September/ PKI akan diselesaikan sendiri oleh presiden, aspek militer administratif diserahkan kepada Mayjen Pranoto, dan aspek militer teknis (keamanan dan ketertiban) diserahkan kepada Mayjen Soeharto.
Namun, realitas yang terjadi di masyarakat menjadi tidak terkontrol dan cenderung anarkis. PKI menjadi sasaran kemarahan rakyat. Kantor Pusat PKI di Jalan Kramat Raya, Jakarta dibakar, begitu pula rumah tokoh-tokoh PKI.
Konflik fisik pun pecah antara massa yang pro dan anti-PKI. Peristiwa ini tidak saja terjadi di Jakarta, tetapi juga di daerah-daerah.
Orang-orang menyebut saat itu tengah terjadi perang saudara dan jutaan nyawa melayang menjadi korban. Berturut-turut tokoh-tokoh PKI ditangkap seperti Kolonel Abdul Latief (di Jakarta tanggal 9 Oktober 1965) dan Kolonel Untung (di Tegal 11 Oktober 1965).
Soeharto sebagai Panglima ABRI
Pada tanggal 14 Oktober 1965 Mayjen Soeharto diangkat sebagai menteri/panglima Angkatan Darat dan dilantik dua hari kemudian.Pelan-pelan ia memegang kendali pemulihan keamanan dan ketertiban. Tanggal 16 Oktober 1965 Panglima Komando Daerah Militer V/Jaya Mayjen Umar Wirahadikusumah (selaku Penguasa Pelaksana Perang Daerah/Pepelrada) membekukan untuk sementara semua kegiatan PKI dan ketujuh ormasormasnya.
Ormas-ormas PKI antara lain Pemuda Rakyat (PR), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Barisan Tani Indonesia (BTI), Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (Perhimi), Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), Himpunan Sarjana Indonesia (HSI), Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).
Tindakan Pepelrada Jakarta ini diikuti oleh Pepelrada Jawa Timur (22 Oktober 1965), Pepelrada Jawa Tengah-DIY tanggal 26 Oktober 1965 menyatakan keadaan perang.
Sementara itu, mulai tanggal 20 Oktober 1965 mulai dilakukan penertiban/personalia sipil dan militer dari unsur-unsur yang terlibat Gerakan 30 September/PKI. Di masyarakat pun mulai berdiri kelompok-kelompok aksi yang menuntut pembubaran PKI dan ormas-ormasnya.
Misalnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), dan Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI).
Pada tanggal 26 Oktober 1965 mereka mengadakan rapat akbar di Lapangan Banteng untuk menuntut pembubaran PKI.
Janji Presiden Ir. Soekarno untuk menyelesaikan secara politik peristiwa Gerakan 30 September/PKI tidak kunjung direalisasikan. Konflik sosial politik di masyarakat dan seringnya terjadi tindakan main hakim sendiri, semakin memperuncing keadaan.
Isi TRITURA (Tiga Tuntutan Rakyat)
Demonstrasi terhadap presiden pun sering terjadi di tempat ketika presiden melakukan aktivitas. Pada tanggal 12 Januari 1966 kesatuan aksi mahasiswa yang tergabung dalam Front Pancasila mengajukan tiga tuntutan kepada DPR-GR.Mereka menuntut:
- pembubaran PKI,
- pembersihan kabinet dari unsur Gerakan 30 September/PKI, dan
- penurunan harga/perbaikan ekonomi.
Tuntutan mereka kemudian dikenal dengan Tritura.
Upaya presiden untuk memperbaiki keadaan dengan mengadakan reshufle Kabinet Dwikora tanggal 24 Februari 1966, justru menyulut demonstrasi besar-besaran.
Oleh karena dalam kabinet yang dijuluki ”Kabinet 100 Menteri” ini masih bercokol tokoh-tokoh yang dicurigai terlibat dalam Gerakan 30 September/PKI. Dalam sebuah demonstrasi, Arief Rachman Hakim (Mahasiswa Universitas Indonesia) tewas tertembak.
Supersemar
Dalam krisis yang mencapai puncak itu, Presiden Ir. Soekarno mengeluarkan Surat Perintah kepada Men/Pangad untuk atas nama presiden yaitu mengambil tindakan demi terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan.Surat inilah yang dikenal Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), yang menjadi penanda lahirnya Orde Baru.
Catatan: Kebenaran sejarah ini belum valid, tunggu update selanjutnya!