”Perjuanganku lebih mudah karena menghadapi bangsa asing, namun perjuanganmu lebih sulit karena menghadapi bangsamu sendiri”. Pesan Bung Karno ini serasa benar adanya.
Saat menghadapi bangsa penjajah, seluruh bangsa kita bisa bersatu dan berjuang bersama. Kini, setelah kemerdekaan berhasil kita genggam, kita harus menghadapi perjuangan yang lebih berat.
Ini merupakan pemikiran Jenderal (TNI) Abdul Haris Nasution (alm) dalam bukunya Pokok-pokok Perang Gerilya. Jenderal besar ini juga mengatakan, menggunakan kekuatan militer untuk melawan bangsa sendiri apalagi mereka memiliki alasan yang pantas untuk tidak puas kepada pemerintah pusat merupakan dilema bagi TNI.
Penyelesaian konflik yang disebabkan ketidakpuasan politik, ideologi, ekonomi, dan sosial tidak bisa
semata hanya diselesaikan oleh operasi militer. Kemenangan menjadi tidak sekadar menghitung jumlah gerilyawan yang ditangkap, tewas, atau menghitung senjata yang disita.
Usai kemerdekaan, sejarah kita memang diwarnai jejeran pemberontakan yang dilatarbelakangi ketidakpuasan. Mulai dari DI/TII, PRRI/Permesta, Republik Maluku Selatan (RMS), PKI, hingga Timor Leste yang akhirnya merdeka, GAM dan Papua merupakan deretan akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat yang diisi oleh para birokrat yang korup.
Militer menghadapi dilema, seperti dikatakan A.H. Nasution. Namun, kembali ke tugas mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka strategi kontra gerilya harus diterapkan melawan gerilya para pemberontak.
Menyenangkan hati rakyat agar berpihak kepada TNI, demikian strategi dasar perang kontra gerilya. Hanya dengan cara ini, perang melawan para gerilyawan yang bersandar pada dukungan masyarakat dapat dimenangkan.
Apakah setelah menang, TNI masih berpihak kepada rakyat atau tidak, tanda tanya besar masih muncul. (???????????)
Beberapa pemberontakan berhasil ditumpas dengan operasi militer. Walaupun makan banyak nyawa, kenyataannya operasi militer menumpas DI/TII., RMS, dan PRRI/Permesta serta PKI berhasil.
Letjen (Purn) Kemal Idris bercerita, TNI dulu sangat dekat dengan rakyat karena TNI menganggap dirinya bagian dari rakyat dan berjuang untuk kepentingan rakyat.
”Kita mengajak rakyat untuk menghadapi DI/ TII dan PRRI/Permesta,” kata mantan Panglima Kostrad yang sebelumnya menjadi Komandan Brigade VII Siliwangi saat penumpasan DI/ TII di Jawa Barat.
Senada dengan Kemal Idris, Letjen (Purn) Solihin G.P. mengatakan, TNI tidak akan bisa menjalankan tugasnya kalau tidak berintegrasi dengan masyarakat.
Ia juga menceritakan masyarakat bersama tentara melakukan Operasi Pagar Betis sehingga pemberontakan Kartosuwirjo dapat ditumpas setelah berjalan lebih kurang tiga belas tahun (1949–1962).
Operasi kontragerilya, kata Solihin, pada intinya adalah memisahkan pasukan dari rakyat. Mantan
Kepala Staf Umum TNI Letjen Suaidi Marasabessy mengatakan, pemberontakan DI/TII dan PRRI/ Permesta sama metodenya dengan pemberontakan GAM yang menggunakan perlawanan bersenjata dengan gerilya.
Perbedaan dengan pemberontakan separatis yang lain, GAM banyak menyertakan perjuangan diplomasi untuk menarik simpati internasional. Tujuannya, internasionalisasi konflik yang menginginkan institusi internasional terlibat.
Untuk itu, TNI harus dapat memetakan kekuatan GAM dan rakyat secara spesifik. Di sinilah inti perlawanan terhadap gerilya. Operasi ini dilakukan dengan operasi intelijen, termasuk di dalamnya operasi penggalangan, yaitu bagaimana mendekati rakyat dan memengaruhi pikiran dan emosi rakyat agar berpihak kepada NKRI.
Dalam kasus DI/TII, rakyat menjadi antipati terhadap DI/TII yang setahun sebelum selesai ditumpas mulai menculik, membunuh, dan menyiksa masyarakat.
Menurut mantan Panglima Kodam VII/Wirabuana ini, GAM telah menunjukkan modus operandi yang sama sehingga secara militer GAM sudah bisa dibilang lemah karena menyimpang dari doktrin perang gerilya yang harus dekat dengan rakyat.
”Saya ingat bagaimana orang Makassar kaget waktu ada tentara dari Jawa menjadi imam di masjid,” kata pengamat militer Salim Said. Kehadiran Panglima Komando Pemulihan Keamanan Sulawesi Selatan Kolonel R. Sudirman merupakan sosok muslim yang taat cukup berhasil membantah opini yang disebarkan DI/TII.
Saat itu, Kahar Muzakar mengkampanyekan bahwa pasukan yang diperanginya adalah Tentara
Djawa Komunis (TDK). Rakyat Sulawesi Selatan menganggap lawannya sebagai si kafir dari Jawa.
Padahal, menurut hasil penelitian Barbara Sillars Harvey, intelektual dari Cornell University, DI/TII di Sulawesi Selatan dimulai sebagai suatu perselisihan tentang status militer dan tuntutan keadilan.
Para gerilyawan Sulawesi Selatan yang ikut perang kemerdekaan tidak diterima masuk ke dalam TNI karena dianggap tidak memenuhi syarat, seperti pendidikan formal.
Kahar Muzakar sebagai perwira paling senior menjadi pemimpin para pejuang ini dalam Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS).
Menurut buku Barbara yang berjudul Pemberontakan Kahar Muzakkar dari Tradisi ke DI/TII, fotokopi surat-menyurat antara Kahar dan komandan Darul Islam di Jawa Barat, Sekarmadji Kartosuwirjo, menjadi bukti pengangkatan Kahar sebagai Panglima Divisi IV Tentara Islam Indonesia (TII).
Ideologi Islam diambil Kahar tidak karena latar belakang agama semata, tetapi juga pertimbangan dukungan bangsawan yang banyak berjuang saat itu. Pada bulan September 1952, Operasi Halilintar digelar.
Bersamaan dengan semakin banyaknya putra daerah memegang berbagai jabatan strategis, dan tindakan DI/TII yang banyak membakar rumah dan kekerasan kepada rakyat, DI/TII mulai kehilangan pengaruhnya tahun 1962.
Akhirnya, Kahar Muzakar ditembak mati di dekat Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara, 3 Februari 1965. Untuk mengecoh pemberontak, A.H. Nasution mengirim kawat bertuliskan pengiriman satu batalion, padahal yang dikirim hanya satu kompi RPKAD di bawah Letda L.B. Moerdani.
Dalam pertempuran di luar Pematangsiantar, tewasnya Kopral Sihombing menjadi simbol bahwa perang itu bukan perang Sumatra lawan Jawa.
Hanya dua bulan setelah proklamasi PRRI 15 Februari 1949, pemerintah akhirnya menjalankan Operasi 17 Agustus, dengan Kolonel A. Yani sebagai komandan. Operasi sempat diduga bocor. Namun, A. Yani memutuskan operasi harus jalan terus.
Selanjutnya, Operasi Merdeka dilaksanakan untuk menguasai kembali wilayah Sulawesi Utara. Dukungan Amerika Serikat saat itu tidak hanya melalui senjata, pelatih, bahkan juga siap serdadu terlatih, salah satu contoh terkenal adalah penerbang asal Amerika Serikat, Allan Lawrence Pope, yang ditembak jatuh di atas perairan Teluk Ambon, 18 Mei 1958.
Usai merebut Pangkalan Udara Mapanget di dekat Manado, pasukan Indonesia kerap mengalami hujan tembakan artileri.
Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Prof. Dr. R.Z. Leirissa menyatakan, PRRI/Permesta dipicu oleh lemahnya perhatian pemerintah pusat atas kesejahteraan prajurit TNI eks pejuang kemerdekaan waktu itu.
Barbara Sillars Harvey dalam Permesta, Pemberontakan Setengah Hati juga mencatat ketidakpuasan ekonomi akibat tata niaga kopra.
Dari pihak Permesta, ada Alex Kawilarang, Zulkifli Lubis, Mauluddin Simbolon, Achmad Hussein, Joop Warouw, dan Ventje Sumual.Sedang dari pusat terdiri atas Akhmad Yani, Rachmat Kartakusumah, Achmad Mokoginta, dan Chandra Hasan.
Leirissa mengungkapkan, jalannya penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta berlangsung tidak setegang operasi militer lain. ”Antara pasukan penumpas dan pasukan gerilyawan itu masih di antara kolega sendiri sesama korps. Jalannya penumpasan berlangsung lebih dengan perundingan-perundingan sehingga konflik senjata dan penumpahan darah terhindarkan,” katanya.
Begitu pun ketika akhirnya Ahmad Yani sebagai komandan pasukan penumpas akhirnya bisa bertemu, mereka saling mengolok kebodohan lawan dalam menerapkan strategi-strategi perang.
Seorang komandan pasukan pemberontak, misalnya, mengolok cara Yani yang memberikan komando kepada pasukan penumpas dengan bahasa Jawa ketika penumpas bergerak di daerah Padang, Sumatra Barat.
Tujuannya, supaya pasukan pemberontak yang bukan orang Jawa tidak memahami komunikasi radio itu. ”Eh, ternyata perwira radio pasukan pemberontak berasal dari Solo sehingga strategi Yani bocor,” kata Leirissa.
Dalam biografinya, A.H. Nasution menegaskan, kemenangan operasi militer menumpas agresor adalah kemampuan operasi itu mencapai kemenangan ideologi, sosial-ekonomi, dan psikologi rakyat.
Merujuk hal ini, tentu terlalu dangkal mendefinisikan keberhasilan operasi dari jumlah senjata yang disita atau jumlah gerilyawan yang dibunuh atau ditangkap.
Sumber: www.kompas.com
Saat menghadapi bangsa penjajah, seluruh bangsa kita bisa bersatu dan berjuang bersama. Kini, setelah kemerdekaan berhasil kita genggam, kita harus menghadapi perjuangan yang lebih berat.
Tidak Sekadar Menghitung Jumlah
Kalau rakyat terus-menerus sakit hati dan menderita, sementara pemerintah hanya memberikan kesejahteraan kepada segelintir orang yang korup, rencana militer melakukan operasi gerilya untuk melawan separatis akan sia-sia belaka.Ini merupakan pemikiran Jenderal (TNI) Abdul Haris Nasution (alm) dalam bukunya Pokok-pokok Perang Gerilya. Jenderal besar ini juga mengatakan, menggunakan kekuatan militer untuk melawan bangsa sendiri apalagi mereka memiliki alasan yang pantas untuk tidak puas kepada pemerintah pusat merupakan dilema bagi TNI.
Koruptor |
Penyelesaian konflik yang disebabkan ketidakpuasan politik, ideologi, ekonomi, dan sosial tidak bisa
semata hanya diselesaikan oleh operasi militer. Kemenangan menjadi tidak sekadar menghitung jumlah gerilyawan yang ditangkap, tewas, atau menghitung senjata yang disita.
Usai kemerdekaan, sejarah kita memang diwarnai jejeran pemberontakan yang dilatarbelakangi ketidakpuasan. Mulai dari DI/TII, PRRI/Permesta, Republik Maluku Selatan (RMS), PKI, hingga Timor Leste yang akhirnya merdeka, GAM dan Papua merupakan deretan akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat yang diisi oleh para birokrat yang korup.
Militer menghadapi dilema, seperti dikatakan A.H. Nasution. Namun, kembali ke tugas mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka strategi kontra gerilya harus diterapkan melawan gerilya para pemberontak.
Menyenangkan hati rakyat agar berpihak kepada TNI, demikian strategi dasar perang kontra gerilya. Hanya dengan cara ini, perang melawan para gerilyawan yang bersandar pada dukungan masyarakat dapat dimenangkan.
Apakah setelah menang, TNI masih berpihak kepada rakyat atau tidak, tanda tanya besar masih muncul. (???????????)
Beberapa pemberontakan berhasil ditumpas dengan operasi militer. Walaupun makan banyak nyawa, kenyataannya operasi militer menumpas DI/TII., RMS, dan PRRI/Permesta serta PKI berhasil.
Letjen (Purn) Kemal Idris bercerita, TNI dulu sangat dekat dengan rakyat karena TNI menganggap dirinya bagian dari rakyat dan berjuang untuk kepentingan rakyat.
”Kita mengajak rakyat untuk menghadapi DI/ TII dan PRRI/Permesta,” kata mantan Panglima Kostrad yang sebelumnya menjadi Komandan Brigade VII Siliwangi saat penumpasan DI/ TII di Jawa Barat.
Senada dengan Kemal Idris, Letjen (Purn) Solihin G.P. mengatakan, TNI tidak akan bisa menjalankan tugasnya kalau tidak berintegrasi dengan masyarakat.
Ia juga menceritakan masyarakat bersama tentara melakukan Operasi Pagar Betis sehingga pemberontakan Kartosuwirjo dapat ditumpas setelah berjalan lebih kurang tiga belas tahun (1949–1962).
Operasi kontragerilya, kata Solihin, pada intinya adalah memisahkan pasukan dari rakyat. Mantan
Kepala Staf Umum TNI Letjen Suaidi Marasabessy mengatakan, pemberontakan DI/TII dan PRRI/ Permesta sama metodenya dengan pemberontakan GAM yang menggunakan perlawanan bersenjata dengan gerilya.
Perbedaan dengan pemberontakan separatis yang lain, GAM banyak menyertakan perjuangan diplomasi untuk menarik simpati internasional. Tujuannya, internasionalisasi konflik yang menginginkan institusi internasional terlibat.
Untuk itu, TNI harus dapat memetakan kekuatan GAM dan rakyat secara spesifik. Di sinilah inti perlawanan terhadap gerilya. Operasi ini dilakukan dengan operasi intelijen, termasuk di dalamnya operasi penggalangan, yaitu bagaimana mendekati rakyat dan memengaruhi pikiran dan emosi rakyat agar berpihak kepada NKRI.
Dalam kasus DI/TII, rakyat menjadi antipati terhadap DI/TII yang setahun sebelum selesai ditumpas mulai menculik, membunuh, dan menyiksa masyarakat.
Menurut mantan Panglima Kodam VII/Wirabuana ini, GAM telah menunjukkan modus operandi yang sama sehingga secara militer GAM sudah bisa dibilang lemah karena menyimpang dari doktrin perang gerilya yang harus dekat dengan rakyat.
”Saya ingat bagaimana orang Makassar kaget waktu ada tentara dari Jawa menjadi imam di masjid,” kata pengamat militer Salim Said. Kehadiran Panglima Komando Pemulihan Keamanan Sulawesi Selatan Kolonel R. Sudirman merupakan sosok muslim yang taat cukup berhasil membantah opini yang disebarkan DI/TII.
Saat itu, Kahar Muzakar mengkampanyekan bahwa pasukan yang diperanginya adalah Tentara
Djawa Komunis (TDK). Rakyat Sulawesi Selatan menganggap lawannya sebagai si kafir dari Jawa.
Padahal, menurut hasil penelitian Barbara Sillars Harvey, intelektual dari Cornell University, DI/TII di Sulawesi Selatan dimulai sebagai suatu perselisihan tentang status militer dan tuntutan keadilan.
Para gerilyawan Sulawesi Selatan yang ikut perang kemerdekaan tidak diterima masuk ke dalam TNI karena dianggap tidak memenuhi syarat, seperti pendidikan formal.
Kahar Muzakar sebagai perwira paling senior menjadi pemimpin para pejuang ini dalam Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS).
Menurut buku Barbara yang berjudul Pemberontakan Kahar Muzakkar dari Tradisi ke DI/TII, fotokopi surat-menyurat antara Kahar dan komandan Darul Islam di Jawa Barat, Sekarmadji Kartosuwirjo, menjadi bukti pengangkatan Kahar sebagai Panglima Divisi IV Tentara Islam Indonesia (TII).
Ideologi Islam diambil Kahar tidak karena latar belakang agama semata, tetapi juga pertimbangan dukungan bangsawan yang banyak berjuang saat itu. Pada bulan September 1952, Operasi Halilintar digelar.
Bersamaan dengan semakin banyaknya putra daerah memegang berbagai jabatan strategis, dan tindakan DI/TII yang banyak membakar rumah dan kekerasan kepada rakyat, DI/TII mulai kehilangan pengaruhnya tahun 1962.
Akhirnya, Kahar Muzakar ditembak mati di dekat Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara, 3 Februari 1965. Untuk mengecoh pemberontak, A.H. Nasution mengirim kawat bertuliskan pengiriman satu batalion, padahal yang dikirim hanya satu kompi RPKAD di bawah Letda L.B. Moerdani.
Dalam pertempuran di luar Pematangsiantar, tewasnya Kopral Sihombing menjadi simbol bahwa perang itu bukan perang Sumatra lawan Jawa.
Hanya dua bulan setelah proklamasi PRRI 15 Februari 1949, pemerintah akhirnya menjalankan Operasi 17 Agustus, dengan Kolonel A. Yani sebagai komandan. Operasi sempat diduga bocor. Namun, A. Yani memutuskan operasi harus jalan terus.
Selanjutnya, Operasi Merdeka dilaksanakan untuk menguasai kembali wilayah Sulawesi Utara. Dukungan Amerika Serikat saat itu tidak hanya melalui senjata, pelatih, bahkan juga siap serdadu terlatih, salah satu contoh terkenal adalah penerbang asal Amerika Serikat, Allan Lawrence Pope, yang ditembak jatuh di atas perairan Teluk Ambon, 18 Mei 1958.
Usai merebut Pangkalan Udara Mapanget di dekat Manado, pasukan Indonesia kerap mengalami hujan tembakan artileri.
Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Prof. Dr. R.Z. Leirissa menyatakan, PRRI/Permesta dipicu oleh lemahnya perhatian pemerintah pusat atas kesejahteraan prajurit TNI eks pejuang kemerdekaan waktu itu.
Barbara Sillars Harvey dalam Permesta, Pemberontakan Setengah Hati juga mencatat ketidakpuasan ekonomi akibat tata niaga kopra.
Dari pihak Permesta, ada Alex Kawilarang, Zulkifli Lubis, Mauluddin Simbolon, Achmad Hussein, Joop Warouw, dan Ventje Sumual.Sedang dari pusat terdiri atas Akhmad Yani, Rachmat Kartakusumah, Achmad Mokoginta, dan Chandra Hasan.
Leirissa mengungkapkan, jalannya penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta berlangsung tidak setegang operasi militer lain. ”Antara pasukan penumpas dan pasukan gerilyawan itu masih di antara kolega sendiri sesama korps. Jalannya penumpasan berlangsung lebih dengan perundingan-perundingan sehingga konflik senjata dan penumpahan darah terhindarkan,” katanya.
Begitu pun ketika akhirnya Ahmad Yani sebagai komandan pasukan penumpas akhirnya bisa bertemu, mereka saling mengolok kebodohan lawan dalam menerapkan strategi-strategi perang.
Seorang komandan pasukan pemberontak, misalnya, mengolok cara Yani yang memberikan komando kepada pasukan penumpas dengan bahasa Jawa ketika penumpas bergerak di daerah Padang, Sumatra Barat.
Tujuannya, supaya pasukan pemberontak yang bukan orang Jawa tidak memahami komunikasi radio itu. ”Eh, ternyata perwira radio pasukan pemberontak berasal dari Solo sehingga strategi Yani bocor,” kata Leirissa.
Dalam biografinya, A.H. Nasution menegaskan, kemenangan operasi militer menumpas agresor adalah kemampuan operasi itu mencapai kemenangan ideologi, sosial-ekonomi, dan psikologi rakyat.
Merujuk hal ini, tentu terlalu dangkal mendefinisikan keberhasilan operasi dari jumlah senjata yang disita atau jumlah gerilyawan yang dibunuh atau ditangkap.
Sumber: www.kompas.com