Pernahkah temanmu bercerita tentang keindahan cerpen yang dibacanya? Atau setelah membaca sebuah cerpen, kamu sering menceritakan isinya. Itulah daya tarik atau kelebihan sebuah cerpen. Bagaimana cara menceritakan isi sebuah cerpen secara menarik?
Agar dapat menceritakan isi cerpen secara lengkap dan menarik, perhatikan hal-hal berikut ini!
a. Pahamilah isi cerita cerpen dengan saksama.
b. Hafalkan dan ingat-ingat bagian-bagian yang penting.
c. Hafalkan tokoh-tokohnya.
d. Perhatikan penampilan dan gerakan tubuh.
e. Mulailah bercerita dengan gaya yang tidak dibuat-buat.
f. Perhatikan intonasi, irama, artikulasi, dan lafalnya.
g. Gunakan gerakan tubuh lain (wajah, mata, lengan) untuk mendukung cerita.
h. Ceritakan bagian pembukaan, inti, dan penutup secara urut.
i. Akhiri dengan penutup cerita yang santun.
"Aah... indahnya pagi ini," seru Mia.
Namun, ketika Mia membungkukkan badannya untuk melakukan sedikit peregangan, betapa kagetnya ketika melihat seekor burung kecil tergeletak lemas di lantai teras rumah dengan sayap yang terkulai penuh darah. Mia berjongkok untuk mengamati lebih dekat.
"Ooh... lengan sayapnya terluka. Darahnya cukup banyak," gumamnya.
Mia melihat burung itu masih hidup karena dada burung kecil itu naik turun lemah dan tubuhnya masih hangat. Segera diambil obat antiseptik yang biasa diletakkan Ibu di dalam kotak obat.
Gadis kecil itu kembali ke teras dengan berlari, tidak lupa membawa segulung kasa di tangan. Mia meneteskan obat antiseptik ke lengan burung itu pelan-pelan seolah takut menyakiti.
"Kau tenang saja burung cantik, ini akan sedikit sakit, tapi kau akan segera sembuh dan bisa terbang lagi bersama keluargamu," ujarnya lirih pada burung malang itu seperti seorang dokter.
Kemudian dililitkan kasa steril sebagai perban dengan sangat hati-hati seolah-olah takut jika dia mematahkan lengan yang terluka itu. Mia teringat Ayah yang pernah membalutka perban kasa steril seperti ini ketika dia jatuh dari sepeda.
"Kau sudah siap Mia?" suara Ayah dari dalam rumah mengejutkan.
"Ya, Ayah sebentar lagi aku selesai."
"Apa yang kau lakukan Mia?" tanya Ayah penasaran dengan kesibukan buah hatinya.
Mia menjelaskan apa yang dilakukan. Kata Ayah, mungkin burung itu terkena tembakan senapan angin para pemburu burung.
"Kau boleh meletakkan burung itu di kebun belakang rumah, jangan lupa jauhkan dari jangkauan si meong."
Setelah memberikan tempat yang nyaman sebagai alas tidur dan juga selimut, Mia segera menyusul orang tuanya lari pagi di lingkungan kompleks perumahan. Hati Mia senang sekali.
"Aku akan melihatnya sembuh dan terbang lagi," batin Mia bangga.
Sepulang dari berlari, Mia tak henti-hentinya menjenguk pasiennya. Sesekali paruh kecil itu disuapi dengan air dan biji beras.
"Lihat Bu, Mia senang sekali merawatnya," kata Ayah kepada Ibu.
"lya. Yah, jika burung itu sembuh pasti Mia akan sangat bangga karena telah merawat dengan baik," sahut Ibu.
Dua hari berlalu, tetapi burung itu tetap berbaring lemah meskipun lukanya telah mengering. Ketika suatu pagi Mia bangun untuk melihat pasien kecilnya, betapa terkejut dia.
"Ayah.... Ibu...!" teriak Mia. Ayah dan Ibu pun tergopohgopoh menghampiri Mia.
"Lihat Yah! Burung ini kenapa? Sayap dan dadanya tidak lagi naik turun seperti kemarin, tetapi lukanya sudah mengering," seru Mia seraya menunjukkan luka di balik balutan perban yang baru saja dibukanya.
Ayah dengan lembut mengelus rambut putri semata wayang lalu berkata, "Mia, burung ini terluka cukup parah waktu kau menemukannya tempo hari. Dia sekarang tidak kuat lagi."
"Mmm... maksud Ayah dia sudah mati?" pekik Mia. Air mata meleleh di pipinya yang kemerahan.
"lya Mia, Ayah turut menyesal."
"Tetapi Mia kan sudah mengobati lukanya, memberi minum serta makan," protes Mia.
"Mia sudah benar, tetapi burung ini terlalu lemah. Ini bukan salah Mia," hibur Ibu.
"Maafkan aku burung kecil, aku tidak bisa menyelamatkanmu. Para pemburu itu sangat kejam terhadapmu. Mereka tidak menyayangimu seperti aku menyayangimu." Mia memandangi burung itu dengan penuh iba dan penyesalan.
"Tuhan tahu Mia sudah berusaha dengan sebaik-baiknya dan burung ini juga tahu. Dia pasti berterima kasih padamu jika dia bisa bicara," lanjut Ayah.
Mia mulai tersenyum di sela tangisnya, "Kita akan menguburkannya. Ayah?"
Ayah mengangguk, "lya, Ayah akan menggali lubang di tanah pojok sana."
Mia masih menangis, tetapi dia senang sekali bisa merawat burung yang malang itu, walaupun hasilnya tidak seperti yang dia harapkan.
Teknik Menceritakan Cerpen supaya Menarik
Dapatkah kamu bercerita tentang keindahan cerpen di depan kelas? Siapa tahu ada teman kamu yang belum pernah membaca cerpen tersebut. Atau, mungkin juga ada temanmu yang pernah membacanya. Jadi, kamu dapat saling melengkapi.Agar dapat menceritakan isi cerpen secara lengkap dan menarik, perhatikan hal-hal berikut ini!
a. Pahamilah isi cerita cerpen dengan saksama.
b. Hafalkan dan ingat-ingat bagian-bagian yang penting.
c. Hafalkan tokoh-tokohnya.
d. Perhatikan penampilan dan gerakan tubuh.
e. Mulailah bercerita dengan gaya yang tidak dibuat-buat.
f. Perhatikan intonasi, irama, artikulasi, dan lafalnya.
g. Gunakan gerakan tubuh lain (wajah, mata, lengan) untuk mendukung cerita.
h. Ceritakan bagian pembukaan, inti, dan penutup secara urut.
i. Akhiri dengan penutup cerita yang santun.
Gambar: Cara Menceritakan Kembali Isi Cerpen |
Contoh Cerpen Singkat “Burung yang Malang”
Burung yang Malang
Hari Minggu, Mia bangun pagi untuk bisa olahraga bersama orang tuanya. Mia membuka pintu lebar-lebar dan direntangkan kedua tangannya seraya mengambil napas dalam-dalam dan membuang perlahan.
"Aah... indahnya pagi ini," seru Mia.
Namun, ketika Mia membungkukkan badannya untuk melakukan sedikit peregangan, betapa kagetnya ketika melihat seekor burung kecil tergeletak lemas di lantai teras rumah dengan sayap yang terkulai penuh darah. Mia berjongkok untuk mengamati lebih dekat.
"Ooh... lengan sayapnya terluka. Darahnya cukup banyak," gumamnya.
Mia melihat burung itu masih hidup karena dada burung kecil itu naik turun lemah dan tubuhnya masih hangat. Segera diambil obat antiseptik yang biasa diletakkan Ibu di dalam kotak obat.
Gadis kecil itu kembali ke teras dengan berlari, tidak lupa membawa segulung kasa di tangan. Mia meneteskan obat antiseptik ke lengan burung itu pelan-pelan seolah takut menyakiti.
"Kau tenang saja burung cantik, ini akan sedikit sakit, tapi kau akan segera sembuh dan bisa terbang lagi bersama keluargamu," ujarnya lirih pada burung malang itu seperti seorang dokter.
Kemudian dililitkan kasa steril sebagai perban dengan sangat hati-hati seolah-olah takut jika dia mematahkan lengan yang terluka itu. Mia teringat Ayah yang pernah membalutka perban kasa steril seperti ini ketika dia jatuh dari sepeda.
"Kau sudah siap Mia?" suara Ayah dari dalam rumah mengejutkan.
"Ya, Ayah sebentar lagi aku selesai."
"Apa yang kau lakukan Mia?" tanya Ayah penasaran dengan kesibukan buah hatinya.
Mia menjelaskan apa yang dilakukan. Kata Ayah, mungkin burung itu terkena tembakan senapan angin para pemburu burung.
"Kau boleh meletakkan burung itu di kebun belakang rumah, jangan lupa jauhkan dari jangkauan si meong."
Setelah memberikan tempat yang nyaman sebagai alas tidur dan juga selimut, Mia segera menyusul orang tuanya lari pagi di lingkungan kompleks perumahan. Hati Mia senang sekali.
"Aku akan melihatnya sembuh dan terbang lagi," batin Mia bangga.
Sepulang dari berlari, Mia tak henti-hentinya menjenguk pasiennya. Sesekali paruh kecil itu disuapi dengan air dan biji beras.
"Lihat Bu, Mia senang sekali merawatnya," kata Ayah kepada Ibu.
"lya. Yah, jika burung itu sembuh pasti Mia akan sangat bangga karena telah merawat dengan baik," sahut Ibu.
Dua hari berlalu, tetapi burung itu tetap berbaring lemah meskipun lukanya telah mengering. Ketika suatu pagi Mia bangun untuk melihat pasien kecilnya, betapa terkejut dia.
"Ayah.... Ibu...!" teriak Mia. Ayah dan Ibu pun tergopohgopoh menghampiri Mia.
"Lihat Yah! Burung ini kenapa? Sayap dan dadanya tidak lagi naik turun seperti kemarin, tetapi lukanya sudah mengering," seru Mia seraya menunjukkan luka di balik balutan perban yang baru saja dibukanya.
Ayah dengan lembut mengelus rambut putri semata wayang lalu berkata, "Mia, burung ini terluka cukup parah waktu kau menemukannya tempo hari. Dia sekarang tidak kuat lagi."
"Mmm... maksud Ayah dia sudah mati?" pekik Mia. Air mata meleleh di pipinya yang kemerahan.
"lya Mia, Ayah turut menyesal."
"Tetapi Mia kan sudah mengobati lukanya, memberi minum serta makan," protes Mia.
"Mia sudah benar, tetapi burung ini terlalu lemah. Ini bukan salah Mia," hibur Ibu.
"Maafkan aku burung kecil, aku tidak bisa menyelamatkanmu. Para pemburu itu sangat kejam terhadapmu. Mereka tidak menyayangimu seperti aku menyayangimu." Mia memandangi burung itu dengan penuh iba dan penyesalan.
"Tuhan tahu Mia sudah berusaha dengan sebaik-baiknya dan burung ini juga tahu. Dia pasti berterima kasih padamu jika dia bisa bicara," lanjut Ayah.
Mia mulai tersenyum di sela tangisnya, "Kita akan menguburkannya. Ayah?"
Ayah mengangguk, "lya, Ayah akan menggali lubang di tanah pojok sana."
Mia masih menangis, tetapi dia senang sekali bisa merawat burung yang malang itu, walaupun hasilnya tidak seperti yang dia harapkan.
Sumber: Kompas Anak, 13 Januari 2008