Tokoh penganjur sejarah sebagai seni adalah George Macauly Travelyan. Ia menyatakan bahwa menulis sebuah kisah peristiwa sejarah tidaklah mudah, karena memerlukan imajinasi dan seni. Menulis sejarah merupakan seni, filsafat, polemik, dan dapat sebagai propaganda. Sejarawan abad 19 bernama Comte, Spencer, dan Mill menyebutkan bahwa metode dan sikap ilmiah pengetahuan alam dapat dipergunakan untuk mempelajari sejarah, tanpa memerlukan modifikasi lebih lanjut. Namun menurut Dithley, seorang filsuf modern, menyatakan bahwa hal tersebut adalah tidak benar, sebab sifat alami dari pengetahuan alam adalah sesuatu yang selalu nyata dan terlihat, sehingga sejarah yang bersifat abstrak tidak mudah menganalisisnya. Oleh karena itu, sejarah adalah pengetahuan tentang rasa. Dithley menambahkan bahwa pemahaman dengan cara imajinatif mampu menjadikan fakta sejarah lebih hidup dan lebih berarti. Itulah sebabnya, menurut
George Macauly Travelyan dalam penulisan kisah sejarah harus menggunakan bahasa yang indah, komunikatif, menarik, dan isinya mudah dimengerti. Dengan demikian, diperlukan seni dalam penulisan sejarah sehingga tercipta suatu peristiwa sejarah yang dapat dipelajari secara urut, lengkap, menarik, dan tidak membosankan. Oleh karena itu, seorang sejarawan harus bersedia menjadi ahli seni untuk menghidupkan kembali kisah kehidupan di masa lalu, masa sekarang, dan yang akan datang. Dengan demikian selain elemen ilmiah sejarah juga mengandung elemen seni.
Sejarah pun dapat berperan sebagai seni yang mengedepankan nilai estetika. Jadi, sejarah dalam hal ini bukanlah dipandang dari segi etika atau logika. Menurut pemikiran Dithley, seorang sejarawan dan filsuf modern, sejarah adalah pengetahuan tentang cita rasa. Sejarah tidak saja mempelajari segala yang bergerak dan berubah yang tampak dipermukaan, namun juga mempelajari motivasi yang mendorong terjadinya perubahan itu bagi si pelaku sejarah. Ia mempelajari suatu proses dinamis kehidupan manusia yang di dalamnya terlihat adanya hubungan sebab-akibat yang lumayan rumit.Â
   Dithley meragukan teori yang diungkapkan Comte, Mills, dan Spencer yang menyatakan bahwa metode ilmu alam dapat dipergunakan dalam mempelajari sejarah tanpa modifikasi berkelanjutan. Memang benar bahwa sejarah dapat digali melalui metode ilmiah. Akan tetapi, sejarah itu sendiri memiliki jiwa atau roh, yang tak lain adalah jiwa yang terdapat dalam diri manusia sebagai pelaku sejarah. Jiwalah yang merupakan nyala api manusia dalam kehidupannya. Pendekatan terhadap jiwa sejarah ini hanya dapat dilakukan oleh seni. Jika suatu peristiwa sejarah tak dapat lagi dibuktikan melalui metode ilmiah maka seorang sejarawan diharapkan mampu mengungkap apa yang tersirat dalam peristiwa itu melalui daya imajinasi. Imajinasi ini sangat diperlukan dalam menginterpretasikan sejarah ketika data-data, jejak-jejak, dan informasi sejarah dirasa belum cukup dalam menafsirkan peristiwa sejarah.
   Melaluinya kita dapat melihat pula kelemahan, rasa takut, sedih, dan kecewa dari mereka para pelaku sejarah. Dengan demikian, sejarah akan menjadi sajian yang kering bila tanpa seni, untuk itu sejarawan memerlukan unsur-unsur seni berupa: intuisi (ilham), yaitu pemahaman langsung dan insting selama masa penelitian berlangsung. Imajinasi yang mempunyai arti bahwa sejarawan harus dapat membayangkan apa yang sebenarnya terjadi, apa yang sedang terjadi dan apa yang terjadi sesudah itu. Emosi dengan perasaan sejarawan diharapkan dapat mempunyai empati untuk menyatukan perasaan dengan objeknya. Sejarawan diharapkan bisa menghadirkan peristiwa sejarah seolah-olah mengalami peristiwa sejarah tersebut, sebagai contoh ketika perasaan ini diungkapkan ketika sejarawan menuliskan sejarah tentang revolusi semasa perang kemerdekaan dapat mewariskan nilai-nilai perjuangan bangsa. Gaya Bahasa, dengan gaya bahasa yang baik dalam arti tidak sistematis dan berbelit-belit akan sangat dimengerti, gaya bahasa juga digunakan terkait dengan penggunaan bahasa pada zaman tertentu seperti di zaman Orde Lama yang akrab dengan kata-kata progresif revolusioner, ganyang, marhaenisme, nasakomisasi.
Baca juga: Sejarah sebagai ilmu 😊
Alasan Mengapa Sejarah Dapat dijadikan Sebagai Seni
   Apabila seseorang menulis (sejarah sebagai kisah), berdasarkan jejak-jejak masa lampau yang berupa sumber-sumber yang telah diseleksi secara ilmiah, maka sumber itu merupakan sumber lepas dan belum dianggap sejarah. Hasil penelitian terhadap sumber-sumber itu barulah menjadi bahan-bahan dalam penyusunan penulisan sejarah sebagai kisah. Bahan-bahan lepas, daftar atau deretan angka-angka tahun serta catatan-catatan peristiwa itu semuanya baru merupakan kronik, dan bukan sejarah. Semuanya baru bisa dikatakan sejarah setelah dirangkai, disusun oleh seorang sejarawan atau peminat sejarah dengan menggunakan metode sejarah. Dengan demikian jelas bahwa, meskipun seseorang menulis suatu kisah/sejarah berdasarkan sumber-sumber yang sama belum tentu hasilnya akan sama. Perbedaan itu bukan dalam data, atau pun sumbernya, tetapi penafsirannya dan penyimpulannya. Sebab latar belakang penulis juga ikut mewarnainya, seperti pendidikan, falsafah hidupnya, dan pengalaman, begitu juga penuturannya.
   Jadi meskipun sejarah disusun berdasarkan bahan-bahan secara ilmiah, tetapi penyajiannya menyangkut soal keindahan bahasa, dan seni penulisan; maka kita cenderung untuk menyimpulkan bahwa sejarah termasuk juga sebagai karya seni, tetapi yang benar-benar seni juga tidak, sebab proses penelitiannya dilakukan secara ilmiah.
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam proses penelitiannya sumber sejarah bersifat ilmiah, tetapi dalam taraf penulisannya sejarah bersifat seni.