Peristiwa Pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 Lengkap

Sungguh mahal harga yang harus dibayar oleh bangsa ini akibat inovasi politik Bung Karno. Ide dasarnya untuk membentuk front persatuan rakyat yang hanya melibatkan kaum nasionalis, agama, dan komunis (Nasakom) melahirkan konstelasi politik yang saling bertentangan.

Di satu sisi, kaum komunis dan nasionalis kiri membentuk front bersama, sementara itu Angkatan Darat dengan didukung golongan agama dan nasionalis kanan berada di sisi yang lain.

Interaksi kedua kekuatan itu dengan Bung Karno lah akhirnya menyebabkan ketegangan-ketegangan politik, yang memuncak dengan meletusnya peristiwa Gerakan 30 September/PKI tahun 1965.

Konflik Ideologis dan Politik Tahun 1948–1965

Kata Sir John Seely, "orang yang tidak mempelajari sejarah sebetulnya orang yang tidak bijaksana". Perjuangan, perundingan, dan pemberontakan yang terjadi pada masa lalu bangsa ini adalah sebuah pelajaran yang sangat berharga untuk dipelajari dan direnungkan.

Dengan begitu, orang akan lebih bijak dalam melihat mana kawan dan mana lawan dalam kehidupannya. Berikut ini kita deskripsikan konflik dan pergolakan yang terjadi di Indonesia hingga meletusnya pemberontakan PKI tahun 1965.

Pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948

Saat itu Indonesia berbentuk serikat di bawah Kabinet Hatta sedang melangsungkan perundingan-perundingan dengan Belanda. Perhatian pemerintah mendadak terpecah ketika Front Demokrasi Rakyat (FDR) pimpinan Amir Syarifuddin mengadakan provokasi terhadap lawan-lawan politiknya.

Berbagai organisasi pro-PKI seperti Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), Serikat Buruh Pribumi (Sarbupri), dan Barisan Tani Indonesia (BTI) mengadakan aksi pemogokan di berbagai daerah untuk menentang pemerintah.

Misalnya yang terjadi pada pabrik karung di Delanggu, Klaten, Jawa Tengah. Suasana semakin panas saat Musso datang dari Moskow (Uni Soviet) pada bulan Agustus 1948. Dengan cepat, ia mengubah haluan dan ideologi PKI menjadi lebih revolusioner.

Partai Sosialis dan Partai Buruh pun bergabung dengan PKI. Dalam sebuah rapat, Musso berpendapat bahwa revolusi Indonesia adalah bagian dari revolusi dunia. Oleh karena itu, Indonesia haruslah berada di pihak Rusia.

Pendapat Musso ini dibantah oleh Hatta dengan mengatakan bahwa pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi objek dalam pertentangan politik internasional, melainkan kita harus tetap menjadi subjek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita Indonesia merdeka seluruhnya.

Musso dan kawan-kawan secara frontal menyerang kebijakan pemerintahan Hatta yang tengah berusaha berunding dengan Belanda.

Bahkan, Musso juga menentang kebijakan pemerintah dalam melebur kesatuan-kesatuan bersenjata menjadi satu badan bersenjata dengan nama Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Peristiwa Pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 Lengkap
PKI

Kekuatan-kekuatan bersenjata ini memang telah dibentuk oleh Amir Syarifuddin saat menjadi menteri pertahanan. Provokasi PKI terhadap Angkatan Darat meningkat pada akhir bulan Agustus hingga awal September 1948.

Di Solo mereka menculik dan membunuh Panglima Divisi IV Kolonel Sutarto, membunuh Dr. Mawardi, menyerang Batalion I/Brigade II/Divisi I Siliwangi dan menyerang penjara Sragen sehingga timbul kekacauan.

Namun, mereka gagal mengusir Divisi I Siliwangi dari Solo dan pemerintah kemudian menempatkan Kolonel Gatot Subroto sebagai gubernur militer daerah Solo.

Akhirnya, tanggal 18 September 1948 PKI Musso mengadakan coup di Madiun dengan menggunakan kesatuan-kesatuan Brigade 29 di bawah pimpinan Letkol Dachlan.

Para komandan dan kepala kesatuan di Madiun ditangkap dan dibunuh oleh FDR/PKI, kecuali Letkol Kartidjo yang berhasil meloloskan diri. Setelah merebut Kota Madiun, FDR/PKI memproklamasikan berdirinya Republik Soviet Indonesia.

Bertindak sebagai Gubernur Militer adalah Kolonel Jokosuyono dengan komandan komando pertempuran Letkol Dachlan.

Tujuan gerakan Amir-Musso adalah mengganti Soekarno-Hatta, mengubah UUD yang berdasarkan Pancasila dengan dasar komunis, dan mengganti asas demokrasi dengan asas diktator.

Melalui corong radio Gelora Pemuda, Jokosuyono mulai menyerang pemerintah dengan menuduh Soekarno-Hatta telah menjual tanah air kepada kaum kapitalis.

Ia juga menyatakan bahwa TNI adalah kepanjangan tangan kaum kolonial. Gerakan dan pernyataan tokoh-tokoh FDR/PKI ini memicu konfliknya dengan TNI AD.

Setelah menerima kewenangan dari presiden, Panglima Besar Jenderal Sudirman menugaskan kepada Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang Kolonel A.H. Nasution untuk memulihkan keamanan dalam waktu dua minggu.

Dua minggu Musso menduduki Kota Madiun, mereka disapu bersih oleh TNI dari Kesatuan Divisi Siliwangi. Melalui Gerakan Operasi Militer I (GOM), Kota Madiun bisa direbut tanggal 30 September 1948 pukul 16.15 WIB.

Saat menyambut pembebasan Kota Madiun dari tangan FDR/PKI Musso itu, presiden berpesan bahwa dengan jatuhnya Madiun, pekerjaan belumlah selesai. Ia berkata pemimpin-pemimpin PKI-Musso masih berkeliaran, yang masih menjadi penyakit bagi republik yang mengganggu kesehatan negara.

Pidato Bung Karno tentang Kudeta PKI di Madiun

Sehari setelah Musso merebut Kota Madiun, tanggal 19 September 1948 Presiden Ir. Soekarno berpidato;

”Kemarin pagi PKI-Musso mengadakan coup, mengadakan perampasan kekuasaan di Madiun dan mendirikan di sana pemerintahan Soviet di bawah pimpinan Musso. Perampasan ini mereka pandang sebagai permulaan untuk merebut seluruh pemerintah Indonesia. 

Nyata dengan ini, bahwa peristiwa Solo dan Madiun itu, tidak berdiri sendiri melainkan adalah suatu rangkaian tindakan untuk merobohkan pemerintahan Republik Indonesia . . .

Engkau dan kita sekalian mengalami percobaan yang sebesar-besarnya dalam menentukan nasib kita sendiri, dan adalah memilih satu antara dua: 

ikut Musso dengan PKI-nya atau ikut Soekarno-Hatta yang insya Allah dengan bantuan Tuhan akan memimpin Negara Republik Indonesia yang merdeka tidak terjajah oleh negara apa pun . . . .”