Peristiwa-Peristiwa Politik Dan Ekonomi Indonesia Pasca Pengakuan Kedaulatan

Melalui pembahasan kali ini kita akan menganalisis persoalan-persoalan yang lahir dari hubungan pusat-daerah, persaingan ideologis, dan pergolakan sosial politik sampai tahun 1960-an.

Rata-rata konflik itu disebabkan sisa-sisa pengaruh Belanda, perebutan kekuasaan, serta ketidaksiapan daerah dalam menerima dan menjalankan kebijakan pemerintah pusat.

Peristiwa-peristiwa politik Indonesia pasca pengakuan kedaulatan 

Ada dua hal yang melatarbelakangi munculnya rasa ketidaksenangan di berbagai daerah. Pertama, alokasi biaya pembangunan yang diterima dari pusat tidak sesuai dengan harapan daerah. Kedua, di berbagai daerah belum muncul rasa percaya kepada pemerintah.

Dari situlah kita bisa merunut munculnya berbagai gerakan dan pergolakan daerah yang mempengaruhi tatanan politik nasional. Gerakan-gerakan itu bisa berkembang karena adanya dukungan dari beberapa panglima daerah. (Baca Selengkapnya.... )

Peristiwa-Peristiwa di Bidang Ekonomi

Pengakuan kedaulatan ternyata belum bisa menyelesaikan perjuangan yang dijalankan bangsa Indonesia.

Belanda meninggalkan beban utang luar negeri kita sebesar Rp1,5 miliar dan utang dalam negeri sejumlah Rp2,8 miliar.

Defisit pemerintah waktu itu sejumlah Rp5,1 miliar.
(Baca Selengkapnya.... )
Peristiwa-Peristiwa Politik Dan Ekonomi Indonesia Pasca Pengakuan Kedaulatan
Kondisi Politik Ekonomi pasca Pengakuan Kedaulatan

Dampak Persaingan Ideologis

Saat berpidato di depan sidang DPR, Presiden Ir. Soekarno menginginkan adanya demokrasi ala Indonesia, yang lebih didasarkan atas mufakat daripada demokrasi Barat yang cenderung memecah belah dengan ciri khas persaingan antara pemerintah dan oposisi.

Dari sinilah ia mulai menggagas demokrasi terpimpin. Hal ini antara lain beliau suarakan dalam konsepsinya yang ia sampaikan pada tanggal 21 Februari 1957.

Presiden berpendapat bahwa sistem demokrasi parlementer secara Barat tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia sehingga harus diganti dengan sistem demokrasi terpimpin.

Ide presiden itu menimbulkan perdebatan di masyarakat dan di DPR. Moh. Natsir dan para pemimpin Masyumi menentang gagasan itu.

Salah satu alasannya bahwa mengubah sistem pemerintahan dan susunan ketatanegaraan secara radikal seperti itu adalah wewenang Konstituante. PNI dan NU bersikap ambivalen.

Sementara itu, PKI yang mencoba mencari perlindungan, mendukung gagasan presiden tersebut. Kaum komunis saat itu memang dimusuhi oleh pihak tentara dan partaipartai lainnya. Kedekatan antara Ir. Soekarno dengan PKI ini tidak luput dari perhatian lawan-lawan politiknya.
(Baca Selengkapnya.... )