Mungkin sudah menjadi tabiat Belanda untuk selalu mengingkari kesepakatan. Hal itu juga dilakukan terhadap isi perundingan KMB (Konfrensi Meja Bundar). Menurut KMB, masalah Irian Barat akan dibicarakan paling lambat setahun setelah pengakuan kedaulatan.
Faktanya, Belanda tetap bercokol di Irian Barat setelah setahun berlalu. Belanda ingin tetap menguasai Irian Barat dan tidak bersedia menyerahkannya kepada bangsa Indonesia.
Usaha diplomasi langsung dengan Belanda ini mengalami kegagalan karena Belanda tetap bersikeras ingin menguasai Irian. Bahkan, dengan persetujuan parlemen, secara sepihak Belanda memasukkan Irian ke dalam wilayah Kerajaan Belanda.
Peristiwa ini terjadi pada bulan Agustus 1952. Sebagai reaksi atas peristiwa itu, pada bulan April 1953 Indonesia menghapus Misi Militer Belanda.
Kabinet Burhanuddin melanjutkan usaha kabinet yang digantikannya dengan membawa masalah Irian Barat ke sidang Majelis Umum PBB.
Pihak Belanda menanggapi usaha Indonesia ini dengan meyakinkan sidang PBB, bahwa masalah Irian Barat adalah masalah bilateral antara Indonesia-Belanda.
Tentu pernyataan Belanda ini tidak diterima oleh Indonesia sehingga pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II seluruh isi perjanjian KMB dibatalkan.
Mengapa Indonesia belum berhasil mengembalikan Irian Barat melalui diplomasi di PBB? Hal ini karena dalam sidang Majelis Umum PBB yang diadakan setiap tahun, kita belum mendapat dukungan dari 2/3 anggota yang hadir.
Dalam bidang ekonomi, pemerintah Indonesia mengirimkan Anak Agung Gede Agung untuk merundingkan masalah Finansial Ekonomi (Finek) dengan delegasi Belanda di Jeneva pada tanggal 7 Januari 1956.
Namun, persetujuan finansial ekonomi ditolak oleh Belanda. Oleh karena melalui persetujuan tidak tercapai, pada tanggal 13 Februari 1956 Kabinet Burhanuddin Harahap melaksanakan pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara sepihak. Pembubaran ini terpaksa dilakukan setelah persetujuan finansial ekonomi di Jeneva ditolak Belanda.
Faktanya, Belanda tetap bercokol di Irian Barat setelah setahun berlalu. Belanda ingin tetap menguasai Irian Barat dan tidak bersedia menyerahkannya kepada bangsa Indonesia.
Upaya yang Ditempuh Bangsa Indonesia dalam pembebasan Irian Barat
Berbagai upaya dalam rangka perjuangan pembebasan Irian Barat telah dilakukan bangsa Indonesia. Langkah-langkah tersebut diuraikan sebagai berikut.a. Perundingan Langsung dengan Belanda
Program pembebasan Irian Barat melalui jalur diplomasi antara Indonesia-Belanda telah menjadi program Kabinet Natsir dan kabinet-kabinet selanjutnya.Usaha diplomasi langsung dengan Belanda ini mengalami kegagalan karena Belanda tetap bersikeras ingin menguasai Irian. Bahkan, dengan persetujuan parlemen, secara sepihak Belanda memasukkan Irian ke dalam wilayah Kerajaan Belanda.
Peristiwa ini terjadi pada bulan Agustus 1952. Sebagai reaksi atas peristiwa itu, pada bulan April 1953 Indonesia menghapus Misi Militer Belanda.
Pembebasan Irian Barat |
b. Diplomasi PBB
Upaya diplomasi di PBB ditempuh setelah usaha melalui perundingan bilateral dengan Belanda tidak berhasil. Kabinet Ali Sastroamidjojo I berhasil membawa masalah Irian Barat ke forum PBB, tetapi tidak membuahkan hasil.Kabinet Burhanuddin melanjutkan usaha kabinet yang digantikannya dengan membawa masalah Irian Barat ke sidang Majelis Umum PBB.
Pihak Belanda menanggapi usaha Indonesia ini dengan meyakinkan sidang PBB, bahwa masalah Irian Barat adalah masalah bilateral antara Indonesia-Belanda.
Tentu pernyataan Belanda ini tidak diterima oleh Indonesia sehingga pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II seluruh isi perjanjian KMB dibatalkan.
Mengapa Indonesia belum berhasil mengembalikan Irian Barat melalui diplomasi di PBB? Hal ini karena dalam sidang Majelis Umum PBB yang diadakan setiap tahun, kita belum mendapat dukungan dari 2/3 anggota yang hadir.
c. Langkah Konfrontasi
Pada tahun 1956 Belanda tetap bersikeras ingin menguasai Irian Barat. Oleh karena itu, Indonesia berusaha menghadapi sikap Belanda secara konfrontatif melalui bidang militer dan ekonomi.Dalam bidang ekonomi, pemerintah Indonesia mengirimkan Anak Agung Gede Agung untuk merundingkan masalah Finansial Ekonomi (Finek) dengan delegasi Belanda di Jeneva pada tanggal 7 Januari 1956.
Namun, persetujuan finansial ekonomi ditolak oleh Belanda. Oleh karena melalui persetujuan tidak tercapai, pada tanggal 13 Februari 1956 Kabinet Burhanuddin Harahap melaksanakan pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara sepihak. Pembubaran ini terpaksa dilakukan setelah persetujuan finansial ekonomi di Jeneva ditolak Belanda.